![]() |
Ilustrasi Peristiwa 10 November 1945 (Foto: Edi Wahyono) |
Semuanya bermula ketika Belanda, yang diwakili oleh pasukan NICA dan dibantu oleh Sekutu, mencoba merebut kembali kekuasaan atas Indonesia pasca-Proklamasi. Kota Surabaya, sebagai salah satu kota terbesar dan paling strategis, menjadi target utama. Ketegangan semakin memuncak ketika Brigadir Jenderal Mallaby, komandan pasukan Inggris, tewas dalam baku tembak pada 30 Oktober 1945. Insiden itu memicu ultimatum dari Sekutu: rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata mereka dalam waktu 24 jam, atau kota akan dihancurkan.
"Selama darah masih mengalir, selama nyawa masih dikandung badan, kita tidak akan menyerah kepada siapa pun juga!" kata-katanya menjadi seruan perang yang menggema di seluruh kota.
Pada pagi 10 November 1945, pasukan Sekutu mulai melancarkan serangan besar-besaran. Tank-tank mereka meluncur di jalanan Surabaya, pesawat-pesawat tempur mengebom dari udara, dan artileri berat menghujani kota tanpa ampun. Namun, rakyat Surabaya, yang sebagian besar hanya bersenjata bambu runcing, senapan tua, dan semangat kemerdekaan, tidak mundur sedikit pun.
Di setiap sudut kota, perlawanan meletus. Para pemuda, wanita, bahkan anak-anak ikut bertempur. Mereka menggali parit-parit perlindungan, menyusun barikade, dan melancarkan serangan gerilya. Para pejuang seperti Moestopo, Soetomo (Bung Tomo), dan Sungkono memimpin serangan dengan taktik yang sederhana tapi efektif: menyerang di malam hari dan bersembunyi di siang hari.
Pertempuran itu berlangsung selama tiga minggu, dan meskipun akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, semangat rakyatnya tidak pernah padam. Lebih dari 16.000 orang Surabaya gugur, tetapi mereka telah menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak akan menyerahkan kemerdekaannya tanpa perjuangan.
Pertempuran 10 November 1945 menjadi simbol perlawanan dan pengorbanan rakyat Indonesia. Hari itu kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan, untuk menghormati mereka yang telah gugur demi mempertahankan kemerdekaan.
Surabaya hari ini adalah kota modern yang ramai, tetapi jejak-jejak perjuangan itu masih terasa. Di Tugu Pahlawan, sebuah monumen megah berdiri sebagai pengingat akan keberanian luar biasa para pejuang Surabaya. Suara Bung Tomo yang menggema di radio masih terpatri di ingatan bangsa, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan ini tidak datang dengan mudah, melainkan diperjuangkan dengan darah dan nyawa.
10 November 1945 bukan hanya tentang pertempuran fisik, tetapi juga tentang semangat yang tak pernah mati. Sebuah semangat yang terus menginspirasi generasi Indonesia hingga hari ini.
No comments:
Post a Comment