![]() |
(Sumber Foto: Pinterest) |
Di lautan luas di utara Pulau Jawa, ombak bergulung pelan, mencerminkan langit biru yang cerah. Angin bertiup lembut, mengibarkan bendera Belanda di atas kapal perang megah De Zeven Provinciën—Kapal Tujuh Provinsi—yang menjadi kebanggaan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Di dek kapal, para pelaut pribumi bekerja seperti biasa, menjalankan tugas mereka di bawah komando para perwira Belanda.
Namun, di balik rutinitas itu, bara kemarahan tengah membakar dada para awak pribumi. Mereka adalah orang-orang Nusantara, yang dipaksa bekerja di bawah perlakuan kasar dan upah yang sangat rendah. Sementara perwira Belanda menikmati kemewahan dan gaji besar, mereka hanya diberi sedikit, meski bekerja lebih keras. Kesabaran mereka semakin menipis, dan pada suatu malam di Februari 1933, gelombang pemberontakan akhirnya meledak.
Malam itu, ketika sebagian besar perwira Belanda tertidur, sekelompok awak kapal yang dipimpin oleh seorang kelasi pribumi merancang aksi pemberontakan yang telah lama mereka rencanakan. Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, mereka menyerbu ruang kemudi, menguasai persenjataan, dan dalam waktu singkat, De Zeven Provinciën bukan lagi kapal Belanda—ia telah menjadi simbol perlawanan.
Keesokan paginya, kabar pemberontakan ini mengguncang pemerintahan kolonial di Batavia (kini Jakarta). Para pejabat Belanda panik. Bagaimana mungkin kapal perang sebesar ini, yang seharusnya menjadi lambang kekuatan kolonial, bisa jatuh ke tangan para pelaut pribumi? Ini adalah aib besar bagi Belanda, dan mereka tahu bahwa jika dibiarkan, pemberontakan ini bisa menginspirasi lebih banyak perlawanan di seluruh Nusantara.
Pemerintah kolonial segera bertindak. Mereka mengirimkan kapal perang lain untuk mengepung De Zeven Provinciën, tetapi para pemberontak tak gentar. Mereka tetap memegang kendali, menolak tunduk pada ancaman Belanda. Namun, kolonialisme tak pernah segan menggunakan kekerasan. Tanpa peringatan panjang, sebuah pesawat pengebom dikirim untuk menghancurkan kapal tersebut.
Dari langit, pesawat itu menjatuhkan bom yang tepat mengenai lambung kapal. Ledakan dahsyat mengguncang lautan, dan De Zeven Provinciën yang megah itu mulai tenggelam. Para pemberontak, yang hingga detik terakhir tetap bertahan, akhirnya harus menerima nasib. Sebagian tewas dalam serangan itu, sementara yang selamat ditangkap dan dijatuhi hukuman berat oleh pemerintah kolonial.
Namun, meskipun pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan, ia meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah. Peristiwa De Zeven Provinciën menjadi simbol keberanian para pelaut pribumi yang menolak ketidakadilan. Perlawanan mereka bukan hanya tentang gaji rendah, tetapi juga tentang harga diri, tentang melawan penindasan yang telah berlangsung terlalu lama.
Ketika Indonesia akhirnya merdeka pada tahun 1945, kisah pemberontakan ini menjadi salah satu bukti bahwa sejak jauh sebelum Proklamasi, semangat perlawanan telah membara di dada anak-anak bangsa. De Zeven Provinciën mungkin telah tenggelam di dasar lautan, tetapi keberanian para pemberontaknya tetap hidup, berlayar dalam ingatan sejarah sebagai bagian dari perjuangan menuju kebebasan.
Baru tauu, kalau perjuangan bangsa Indonesia gak cuma dari jalur daratan aja. Setelah baca artikel ini jadi tau kalau perjuangan bangsa Indonesia itu ada yang dari jalur laut jugaa. Kerenn si, di sekolah bahkan jarang bahas perlawanan bangsa Indonesia dari segi maritimnya.
ReplyDelete