Wednesday, January 15, 2025

Intrik di Balik Kejatuhan Kerajaan Pajajaran

 

(Sumber Foto: Pinterest)

Angin malam berhembus dingin di atas Gunung Salak, membawa bisik-bisik cerita lama yang tersembunyi di balik kabut. Di masa lalu, di bawah kaki gunung itu, berdiri megah Kerajaan Pajajaran. Dipimpin oleh Raja Sri Baduga Maharaja, yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi, kerajaan ini menjadi pusat kemegahan, seni, dan kebijaksanaan di tanah Sunda. Namun, di balik kejayaannya, terselip kisah pengkhianatan yang berakhir dengan kehancuran.

Pada abad ke-16, saat Islam mulai menyebar di Nusantara, Pajajaran berada di persimpangan zaman. Banyak kerajaan tetangga telah memeluk Islam, sementara Pajajaran tetap teguh pada tradisi Sunda Wiwitan. Namun, ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam istana.

Dalam sejarah, Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, tetapi ia menghadapi konflik internal yang pahit. Salah satu sumber masalah datang dari perpecahan di keluarganya sendiri. Putranya, Raden Kian Santang, memutuskan memeluk Islam dan meninggalkan istana untuk mendalami agama baru. Pilihan ini menciptakan jurang pemisah antara ayah dan anak. Meski demikian, konflik ini tidak sebanding dengan ancaman yang mengintai dari para bangsawan yang haus kekuasaan.

Di tengah intrik politik ini, muncul seorang tokoh bernama Surawisesa, putra Prabu Siliwangi yang kelak menggantikan tahta. Meski dikenal sebagai raja yang penuh tekad, Surawisesa hidup di era yang penuh gejolak. Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi tekanan besar dari Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin. Konflik ini berpuncak pada serangan besar-besaran terhadap ibu kota Pajajaran, Pakuan.

Namun, apa yang jarang dibicarakan adalah peran seorang bangsawan pengkhianat dalam kehancuran Pajajaran. Konon, seorang patih istana yang kecewa karena ambisinya tidak terpenuhi, diam-diam menjalin aliansi dengan Kesultanan Banten. Patih itu memberikan informasi tentang kelemahan pertahanan istana dan jalur-jalur rahasia menuju Pakuan. Informasi ini menjadi kunci bagi pasukan Banten untuk menyerang dan meluluhlantakkan kota.

Ketika pasukan Banten menyerbu Pakuan, Prabu Surawisesa dan rakyatnya bertempur mati-matian. Namun, jumlah mereka kalah jauh dibandingkan musuh. Istana kaca yang megah—tempat raja dan keluarga kerajaan bersemayam—hancur, meninggalkan reruntuhan yang hingga kini menjadi misteri. Rakyat Pajajaran yang selamat melarikan diri ke hutan-hutan, sementara kerajaan itu sendiri menghilang dari peta sejarah.

Legenda mengatakan, Prabu Siliwangi tidak benar-benar wafat. Sebaliknya, ia dan pengikut setianya berubah menjadi harimau putih yang menjaga hutan-hutan Sunda. Hingga kini, harimau putih sering disebut sebagai penjaga spiritual yang melindungi tanah bekas Kerajaan Pajajaran.

Runtuhnya Pajajaran adalah sebuah pengingat bahwa kekuasaan tidak hanya rapuh terhadap serangan dari luar, tetapi juga dari perpecahan dalam. Sebuah kerajaan, sekuat dan semegah apa pun, akan runtuh bila kepercayaan dan persatuan diabaikan.

Hingga hari ini, misteri tentang kehancuran Pajajaran tetap hidup dalam cerita rakyat dan penelitian arkeologi. Di tengah reruntuhan Pakuan yang tersembunyi di lebatnya hutan, jejak-jejak istana kaca itu masih menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban yang pernah berjaya, tetapi hancur oleh pengkhianatan dan ambisi manusia.


No comments:

Post a Comment