![]() |
(Sumber Foto: Pinterest) |
Di langit, sebuah pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay melaju dalam keheningan yang menegangkan. Di dalamnya, sebuah bom bernama Little Boy tergantung, membawa beban yang jauh lebih besar dari sekadar logam dan bahan peledak—ia membawa sejarah, membawa keputusan manusia, dan membawa kehancuran yang belum pernah disaksikan dunia. Pilotnya, Kolonel Paul Tibbets, menerima perintahnya dengan mantap, tetapi siapa pun yang ada di dalam pesawat itu tahu, mereka sedang mengukir babak baru dalam sejarah umat manusia.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 08.15 pagi, pintu bom terbuka. Dalam beberapa detik, bom itu meluncur bebas ke bawah, melewati langit yang damai, tanpa suara, tanpa peringatan. Hingga akhirnya, dalam sekejap, dunia berubah. Ledakan dahsyat mengguncang Hiroshima. Cahaya putih menyilaukan memenuhi langit, lebih terang dari seribu matahari. Panasnya mencapai ribuan derajat, cukup untuk melelehkan baja dan menguapkan manusia dalam radius dekat. Gelombang kejut meratakan bangunan, angin panas membakar apa pun yang tersisa.
Dalam hitungan detik, sebuah kota lenyap.
Orang-orang yang selamat berjalan dalam kebingungan, tubuh mereka terbakar, pakaian mereka hangus, dan kulit mereka menggantung seperti kain yang meleleh. Sungai Ota yang tenang berubah menjadi lautan manusia yang mencari kesejukan, meskipun airnya kini penuh dengan abu dan jasad. Hiroshima, yang baru saja hidup beberapa menit sebelumnya, kini menjadi pemandangan dari neraka.
Di sisi lain dunia, kabar tentang keberhasilan misi itu segera sampai ke Washington. Presiden Harry S. Truman mengumumkan kepada dunia bahwa Jepang kini telah merasakan "senjata baru yang dahsyat." Tujuan utamanya, katanya, adalah untuk mengakhiri perang secepat mungkin. Namun, di jalanan Hiroshima, di antara reruntuhan dan tubuh yang bergelimpangan, hanya ada satu hal yang terlihat: kehancuran yang tak terbayangkan.
Tiga hari kemudian, bom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Jepang akhirnya menyerah pada 15 Agustus 1945, mengakhiri Perang Dunia II. Tetapi bagi Hiroshima, perang tidak benar-benar berakhir. Radiasi terus membunuh dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun. Bayangan tubuh manusia yang terpanggang masih tertinggal di dinding-dinding kota, sebagai saksi bisu dari apa yang terjadi.
Hiroshima bukan sekadar sebuah tragedi, tetapi sebuah titik balik. Ia mengubah cara dunia memandang perang, mengingatkan kita akan kekuatan destruktif yang kini berada dalam genggaman manusia. Dari puing-puing itu, lahirlah gerakan anti-nuklir, lahirlah peringatan abadi bahwa dalam satu keputusan, manusia bisa menghancurkan dunia yang telah dibangunnya selama ribuan tahun.
Hari ini, Hiroshima adalah kota perdamaian. Monumen dan museum berdiri untuk mengenang para korban, sementara generasi baru tumbuh dengan harapan bahwa sejarah kelam ini tidak akan terulang. Namun, di bawah langit yang kini kembali biru, bayangan 6 Agustus 1945 tetap membayangi dunia—sebagai pengingat bahwa kekuatan terbesar manusia bukanlah dalam kemampuannya menghancurkan, tetapi dalam pilihannya untuk tidak melakukannya.
No comments:
Post a Comment